Ketika Banjir Datang dari Langit, dan Kesalahan Datang dari Kita

 


Opini:   Bencana bukan hanya sekadar peristiwa alam yang datang dan pergi, tetapi juga sebuah cermin bening yang memantulkan siapa kita sebagai manusia. Ketika banjir bandang melanda Sumatera Barat, saya tidak hanya melihat laporan statistik, grafik kerusakan, atau berita berdurasi satu menit yang beredar di layar ponsel. Saya melihat sebuah cerita — cerita tentang kehilangan, ketidakpastian, dan pertanyaan besar mengenai tanggung jawab kita terhadap alam dan sesama.

     Menurut laporan resmi BNPB per 28 November 2025, bencana banjir bandang dan longsor di Sumbar telah merenggut 23 nyawa, meninggalkan 12 orang hilang, serta mengakibatkan 4 lainnya luka-luka. Sebanyak 3.900 Kepala Keluarga terpaksa meninggalkan rumah, tidur di bawah tenda-tenda darurat, berharap pagi yang lebih baik. Korban tersebar di wilayah Padang Pariaman, Kota Solok, dan beberapa daerah lain yang kini tinggal nama dalam peta—bukan lagi dalam bentuk rumah, ladang, atau masa depan.

      Namun seiring berjalannya waktu dan operasi pencarian yang terus dilakukan, angka tersebut mengalami peningkatan drastis. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, jumlah korban meninggal dunia akibat banjir dan longsor di Sumatera Barat kembali bertambah menjadi 129 orang pada Minggu (30/11/2025). “Korban jiwa 129, hilang 118, 16 luka-luka ya,” kata Kepala BNPB Suharyanto dalam konferensi pers. Suharyanto menjelaskan bahwa Kabupaten Agam menjadi wilayah dengan jumlah korban meninggal dan hilang terbanyak.

Angka-angka itu berat. Tapi lebih berat lagi jika kita menatap makna di baliknya.

        Bayangkan seorang ayah yang kembali ke puing dengan tubuh basah, tetapi tangan kosong—karena tak sempat menyelamatkan apa pun kecuali nyawanya. Bayangkan anak kecil yang mendadak yatim, menangis tanpa mengerti apa yang hilang darinya selain pelukan yang tak pernah kembali. Bayangkan seorang ibu yang bertahun-tahun mencicil rumah, dan kini hanya memegang segenggam kenangan yang tercampur lumpur.

    Bagi mereka, bencana bukan headline. Bencana adalah hidup yang runtuh.Di Pantai Itu, Alam Menunjukkan Luka yang Kita Buat Sendiri

       Namun luka ini bukan hanya pada korban manusia, tetapi juga pada bumi. Di sepanjang pesisir Kota Padang, menggunung kayu gelondongan yang hanyut terbawa arus. Kayu-kayu itu bukan sampah yang datang begitu saja—itu adalah catatan kriminal ekologis. Itu adalah saksi bisu hutan yang ditebang tanpa nurani, tanah yang dicerabut paksa dari akar pohon yang dahulu menjadi penahan air dan pelindung kehidupan.

          Fenomena itu menampar kesadaran: banjir ini bukan hanya soal hujan deras atau cuaca ekstrem. Ini adalah potret kegagalan kita menjaga alam. Setiap pohon yang tumbang tanpa reboisasi, setiap hutan yang tergerus sengaja demi kepentingan ekonomi sesaat, adalah undangan bencana untuk datang tanpa mengetuk.Kita terlalu sering menangis setelah bencana, tetapi terlalu jarang berjaga sebelum bencana.


   Humanisasi menjadi penting ketika membicarakan tragedi. Kita bukan hanya diminta mengetahui, tetapi merasakan. Apakah kita yang jauh di kota merasa dingin yang menusuk kulit para pengungsi di malam hari? Apakah kita hanya membaca—atau juga menghayati?

Korban bukan angka.

     Mereka adalah manusia yang kehilangan rumah, kenangan, rencana masa depan, kebiasaan kecil seperti memasak pagi, bercengkerama di beranda, atau menyuapi anak yang tertawa riang. Yang hari ini terganti dengan tenda, antrean logistik, trauma, dan tatapan kosong.

     Bantuan logistik memang perlu — tetapi pemulihan mental jauh lebih penting. Sebab rumah dapat dibangun kembali dengan semen, pasir, dan batu. Namun hati yang remuk hanya bisa dipulihkan oleh empati dan kemanusiaan.


       Di titik ini, negara seharusnya hadir bukan hanya sebagai pelaksana protokol darurat, tetapi sebagai pelindung ekologis. Bencana ini menjadi teguran keras bahwa tata kelola lingkungan kita masih lemah, penegakan hukum terhadap perusakan hutan sering tumpul, dan pembangunan lebih sering mengejar angka investasi ketimbang keberlanjutan.

Kritiknya jelas dan harus diucapkan lantang:

● Pemerintah tidak boleh hanya muncul ketika banjir datang
● Negara harus ada sebelum banjir datang

     Kita membutuhkan kebijakan tegas dalam melindungi kawasan hutan, penataan ulang daerah aliran sungai (DAS), serta penegakan regulasi lingkungan yang selama ini sering berhenti di atas kertas. Banjir bukan hanya air yang meluap — ia adalah akumulasi dari pengabaian yang menumpuk.

     Lebih jauh, pemulihan pascabencana tidak cukup dengan tenda dan mie instan. Korban membutuhkan layanan trauma healing, pendampingan sosial, dan pemberdayaan ekonomi agar mereka tidak hanya pulih — tetapi bangkit.

      Bencana Sumbar adalah panggilan moral — bukan untuk sekadar bersedih, tetapi untuk bergerak. Kita harus mendengar dua jeritan sekaligus: jeritan alam yang rusak, dan jeritan manusia yang kehilangan.

   Karena banjir bandang mungkin meruntuhkan bangunan, tetapi empati dan kesadaran kolektif dapat membangun kembali kehidupan.Hari ini Sumbar menangis.Air bah merendam kota, tapi jangan biarkan keegoisan merendam hati kita.

Muh Sofian Irwansyah
Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah