Muamalah adalah hubungan antar manusia,
hubungan sosial, atau hablum minannas.
Dalam syariat Islam hubungan antar manusia tidak dirinci jenisnya, tetapi
diserahkan kepada manusia mengenai bentuknya. Islam hanya membatasi
bagian-bagian yang penting dan mendasar berupa larangan Allah dalam Al-Quran
atau larangan Rasul-Nya yang didapat dalam As-Sunnah.
Dari segi bahasa, muamalah bersal dari kata ‘aamala, yu’amilu, mu’amalat yang berarti perlakuan atau tindakan
terhadap orang lain, hubungan kepentingan (seperti jual-beli, sewa dsb).
Sedangkan secara terminologis muamalah berarti bagian hukum amaliah selain
ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara yang satu dengan
lainnya baik secara individu, dalam keluarga, maupun bermasyarakat.
Berbeda dengan masalah ibadah,
ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah muamalah terbatas pada yang pokok-pokok
saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak terperinci seperti halnya dalam
masalah ibadah. Oleh karena itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk
dikembangkan melalui ijtihad. Kalau dalam
bidang ibadah tidak mungkin dilakukan modernisasi, maka dalam bidang muamalah
sangat memungkinkan untuk dilakukan modernisasi.
Dengan pertimbangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedemikian maju, masalah muamalah pun dapat disesuaikan sehingga
mampu mengakomodasi kemajuan tersebut. Karena sifatnya yang terbuka tersebut,
dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua akad
dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang membatalkan dan
melarangnya. Dari prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa semua perbuatan yang
termasuk dalam kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidak ada
ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh
karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja berubah seiring
dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam.
Dilihat
dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup syariah dalam bidang muamalah,
menurut Abdul Wahhab Khallaf, meliputi:
Pertama, Ahkam al-Ahwal al-Syakhiyyah (Hukum
Keluarga), yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami,
istri dan anak. Ini dimaksudkan untuk memelihara dan membangun keluarga sebagai
unit terkecil.
Kedua, al-Ahkam al-Maliyah (Hukum
Perdata), yaitu hukum tentang perbuatan usaha perorangan seperti jual beli (Al-Bai’ wal Ijarah), pegadaian (rahn), perserikatan (syirkah), utang piutang
(udayanah), perjanjian (‘uqud ). Hukum
ini dimaksudkan untuk mengatur orang dalam kaitannya dengan kekayaan dan
pemeliharaan hak-haknya.
Ketiga, Al-Ahkam al-Jinaiyyah (Hukum
Pidana), yaitu hukum yang bertalian dengan tindak kejahatan dan sanksi-sanksinya.
Adanya hukum ini untuk memelihara ketentraman hidup manusia dan harta
kekayaannya, kehormatannnya dan hak-haknya, serta membatasi hubungan antara
pelaku tindak kejahatan dengan korban dan masyarakat.
Keempat, al-Ahkam al-Murafa’at (Hukum
Acara), yaitu hukum yang berhubungan dengan peradilan (al-qada), persaksian (al-syahadah) dan
sumpah (al- yamin), hukum ini dimaksudkan untuk mengatur
proses peradilan guna meralisasikan keadilan antar manusia.
Kelima, Al-Ahkam al-Dusturiyyah (Hukum
Perundang-undangan), yaitu hukum yang berhubungan dengan perundang-undangan
untuk membatasi hubungan hakim dengan terhukum serta menetapkan hak-hak
perorangan dan kelompok.
Kenam, al-Ahkam al-Duwaliyyah (Hukum
Kenegaraan), yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan kelompok
masyarakat di dalam negara dan antar negara. Maksud hukum ini adalah membatasi
hubungan antar negara dalam masa damai, dan masa perang, serta membatasi
hubungan antar umat Islam dengan yang lain di dalam negara.
Ketujuh, al-Ahkam al-Iqtishadiyyah wa al-Maliyyah (Hukum
Ekonomi dan Keuangan), yaitu hukum yang berhubungan dengan hak fakir miskin di
dalam harta orang kaya, mengatur sumber-sumber pendapatan dan masalah
pembelanjaan negara. Dimaksudkan untuk mengatur hubungan ekonomi
antar orang kaya (agniya), dengan orang fakir
miskin dan antara hak-hak keuangan negara dengan perseorangan.
Itulah pembagian hukum muamalah yang meliputi
tujuh bagian hukum yang objek kajiannya berbeda-beda. Pembagian seperti itu
tentunya bisa saja berbeda antara ahli hukum yang satu dengan yang lainnya.
Yang pasti hukum Islam tidak dapat dipisahkan secara tegas antara hukum publik
dan hukum privat. Hampir semua ketentuan hukum Islam bisa terkait dengan
masalah umum (publik) dan juga terkait dengan masalah individu (privat). Wallahu a’lam bisshawab.