Perpisahan adalah kata yang sederhana, tetapi mengandung makna yang dalam. Ia selalu menyisakan ruang kosong di hati, menghadirkan rindu bahkan sebelum jarak benar-benar tercipta. Demikian pula perpisahan mahasiswa KKN Nusantara di Padukuhan Kagongan. Setelah lebih dari sebulan menjalani hari-hari bersama masyarakat, berbagi cerita, mengabdikan diri dalam program kerja, dan meneguk pelajaran dari kearifan lokal, kini tibalah waktunya mengemas kenangan dalam tas dan membawa pulang jejak yang tak mungkin terlupakan.
KKN sejatinya bukan sekadar program wajib akademik yang harus dituntaskan mahasiswa, melainkan ruang perjumpaan antara teori yang dipelajari di kampus dengan realitas yang hidup di tengah masyarakat. Di Kagongan, perjumpaan itu terjadi begitu hangat dan nyata. Para mahasiswa hadir bukan sebagai tamu yang asing, melainkan disambut sebagai bagian dari keluarga. Sebaliknya, masyarakat Kagongan membuka rumah dan hati mereka, memberi ruang bagi para mahasiswa untuk belajar tentang kehidupan yang tidak selalu bisa ditemukan di ruang kuliah.
Perpisahan ini memang terasa berat. Namun, ia justru menjadi momentum reflektif bahwa setiap pengabdian memiliki batas waktu, tetapi nilai dan makna yang tertanam akan terus abadi. Di balik senyum dan air mata perpisahan, ada ikatan sejati yang tercipta antara mahasiswa dan masyarakat: ikatan kemanusiaan, persaudaraan, serta tanggung jawab untuk terus menyalakan semangat perubahan.
Kagongan sebagai Ruang Belajar
Padukuhan Kagongan bukan sekadar lokasi KKN, melainkan ruang belajar kehidupan. Di sana mahasiswa melihat bagaimana masyarakat menjaga harmoni sosial, menghidupkan gotong royong, dan tetap setia dengan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan leluhur. Nilai-nilai itu kadang tak terjamah oleh buku teks, tetapi justru menjadi bahan kuliah paling berharga ketika dipraktikkan secara nyata.
Mahasiswa belajar bahwa pembangunan desa bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga penguatan modal sosial. Kekuatan masyarakat Kagongan terletak pada kebersamaan mereka, saling membantu dalam suka dan duka, dan menjaga hubungan antarwarga layaknya saudara. Inilah yang kemudian mengajarkan kepada para mahasiswa arti sebenarnya dari pengabdian: bukan sekadar memberi, tetapi juga menerima pelajaran dari masyarakat.
Jejak Pengabdian yang Tertinggal
Selama menjalani KKN, mahasiswa meninggalkan jejak berupa program-program kerja. Ada yang sifatnya fisik, seperti memperbaiki sistem pengajaran TPA, memberikan penyuluhan anti narkoba, atau mengajarkan keterampilan baru. Ada pula yang non-fisik, seperti pendampingan belajar anak-anak, hingga forum diskusi dengan warga tentang ekonomi.
Namun, yang paling penting bukan hanya hasil program itu sendiri, melainkan proses kebersamaan yang mengiringinya. Setiap kerja bakti, setiap obrolan santai di teras rumah warga, hingga setiap tawa bersama anak-anak Kagongan, itulah yang membentuk ikatan emosional. Perpisahan boleh menghapus jarak fisik, tetapi kenangan dan nilai yang tertanam akan terus hidup di hati masing-masing.
Perpisahan Bukan Akhir, Tetapi Awal
Perpisahan di Kagongan tidak boleh dimaknai sebagai titik akhir. Justru ia adalah titik awal. Mahasiswa yang kembali ke kampus membawa pulang bekal yang jauh lebih berharga daripada laporan kegiatan: bekal nilai kemanusiaan, pengalaman sosial, dan tanggung jawab moral. Mereka pulang dengan membawa wajah-wajah warga Kagongan dalam ingatan, yang seakan berkata, “Jangan lupakan kami, jangan hentikan pengabdian hanya karena KKN sudah selesai.”
Ikatan sejati inilah yang harus terus dijaga. Perpisahan menjadi awal lahirnya jaringan yang lebih luas antara mahasiswa dan masyarakat. Walaupun secara fisik tidak lagi bersama, komunikasi dan silaturahmi bisa tetap berjalan. Bahkan, mahasiswa bisa menjadi jembatan agar suara-suara kecil dari desa tetap terdengar di ruang-ruang akademik maupun kebijakan.
Belajar Tentang Perbedaan dan Nusantara
KKN Nusantara memiliki makna lebih luas, karena ia mempertemukan mahasiswa dari latar belakang daerah, budaya, dan disiplin ilmu yang berbeda. Di Kagongan, para mahasiswa belajar bahwa keberagaman bukanlah jurang pemisah, melainkan kekayaan yang memperkuat kerja sama.
Perpisahan ini bukan hanya dengan masyarakat, tetapi juga dengan teman-teman sesama KKN. Selama 45 hari, mereka menjadi keluarga baru: makan bersama, menyelesaikan masalah bersama, hingga menghadapi dinamika yang penuh warna. Di balik perbedaan karakter, justru tumbuh rasa persaudaraan yang kuat. Itulah cerminan nyata dari Nusantara berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan.
Menyulam Harapan Setelah Perpisahan
Perpisahan akan selalu meninggalkan ruang kosong, tetapi ruang itu bisa diisi dengan harapan. Bagi mahasiswa, harapan itu adalah agar semangat pengabdian tidak berhenti di Kagongan, melainkan terus menyala di mana pun berada. Sementara bagi masyarakat Kagongan, harapannya agar jejak program yang sudah ditinggalkan bisa terus berlanjut dan berkembang, menjadi bagian dari upaya membangun padukuhan yang lebih baik.
Di sinilah pentingnya kesadaran kolektif: bahwa KKN hanyalah pintu awal dari sebuah proses panjang. Mahasiswa boleh pergi, tetapi ide, semangat, dan nilai-nilai yang ditanamkan harus tetap hidup bersama masyarakat.
Perpisahan sebagai Pengingat Kemanusiaan
Pada akhirnya, perpisahan KKN di Padukuhan Kagongan bukan sekadar akhir program akademik. Ia adalah pengingat bahwa hidup sejatinya adalah tentang perjumpaan, pengabdian, dan kebersamaan. Setiap mahasiswa kembali dengan cerita yang berbeda, tetapi mereka semua pulang dengan hati yang sama: hati yang telah disentuh oleh kehangatan padukuhan Kagongan.
Perpisahan mengajarkan bahwa manusia diciptakan bukan untuk hidup sendiri, melainkan untuk saling menguatkan. Kagongan telah menjadi guru bagi mahasiswa, dan mahasiswa pun telah berusaha memberikan kontribusi bagi Kagongan. Perpisahan ini adalah bukti bahwa ikatan sejati tidak bisa dihapus oleh jarak maupun waktu.
Ketika hari perpisahan tiba, air mata yang jatuh bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa ada sesuatu yang begitu berharga yang harus dilepaskan. KKN Nusantara di Padukuhan Kagongan meninggalkan kenangan indah, jejak pengabdian, dan pelajaran hidup yang tak ternilai.
Perpisahan ini memang menutup lembaran KKN, tetapi sekaligus membuka babak baru: babak menjaga silaturahmi, menyalakan semangat pengabdian di tempat lain, dan membawa nama baik Kagongan ke mana pun langkah kaki melangkah.
Maka, biarlah perpisahan ini tidak kita sebut sebagai akhir. Ia hanyalah jeda, sebuah titik koma yang memberi ruang bagi kisah-kisah baru untuk terus dituliskan. Sebab, ikatan sejati antara mahasiswa dan masyarakat Kagongan tidak akan pernah lekang oleh waktu.
Seperti pepatah Bugis mengatakan: “Siri’ na pacce to tilo-tilo” harga diri dan kepedulian itu tidak akan pernah layu. Begitu pula ikatan yang tercipta di Kagongan, ia akan tetap hidup meski jarak dan waktu memisahkan.
Dan dalam kearifan Jawa ada ungkapan: “Urip iku urup” hidup itu menyala, artinya hidup akan berarti bila mampu memberi cahaya bagi orang lain. Itulah makna terdalam dari perpisahan ini: pengabdian yang sementara, tetapi cahaya yang ditinggalkan akan terus menerangi.
Kepada kalian, sahabat posko yang menjadi keluarga kedua selama 45 hari, izinkan saya menutup catatan ini dengan harapan sederhana: semoga setiap tawa, letih, dan doa yang pernah kita rajut bersama di Kagongan tidak hilang ditelan waktu. Kita boleh kembali ke kampus masing-masing, kembali pada rutinitas masing-masing, tapi biarlah persaudaraan ini tetap kita jaga. Suatu hari nanti, entah di mana kita bertemu lagi, semoga kenangan di Kagongan menjadi pengingat bahwa kita pernah berjuang, belajar, dan tumbuh bersama. Mari kita bawa semangat ini untuk menerangi jalan hidup kita masing-masing.
Penulis:Muhammad Dirgantara
Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah
Institut Agama Islam Negeri Parepare