Sebuah Langkah Mundur yang Mengancam Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

 


      Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kembali mengundang perhatian publik dengan kontroversi yang cukup tajam. Seharusnya, sebagai negara yang telah melewati sejarah panjang militerisme dan penindasan, Indonesia tidak boleh tergelincir kembali ke dalam cengkeraman kekuasaan militer yang tak terkendali. Namun, RUU TNI 2025 justru berisiko membuka pintu bagi kembalinya dominasi militer dalam berbagai aspek kehidupan negara. Ini bukan sekadar masalah mengenai pertahanan, tetapi juga tentang nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia yang telah kita perjuangkan setelah Reformasi 1998. Salah satu aspek yang sangat mengkhawatirkan adalah semakin besar dan meluasnya peran TNI dalam politik domestik. UU ini memberikan otoritas yang luar biasa kepada TNI dalam kebijakan nasional, mulai dari pengambilan keputusan politik hingga operasi domestik. Setelah bertahun-tahun menjalani reformasi yang mendorong pemisahan antara militer dan politik, pengesahan RUU ini jelas merupakan kemunduran. UU ini membiarkan militer lebih leluasa terlibat dalam urusan sipil, yang bisa mengancam integritas pemerintahan sipil yang seharusnya berfungsi dalam kerangka demokrasi. Apakah kita ingin melihat Indonesia kembali terjerumus dalam pengaruh militer yang dominan, seperti yang terjadi pada era Orde Baru? Kita sudah cukup dengan sejarah kelam itu.

      Memperkuat militer adalah hal yang wajar dalam konteks menjaga kedaulatan negara, namun memberikan peran yang terlalu besar kepada TNI dalam kehidupan politik adalah ancaman nyata bagi demokrasi. UU TNI akan memperburuk ketegangan sipil-militer yang selama ini sudah sulit dijaga keseimbangannya. Dalam negara demokratis, keputusan politik dan kebijakan negara seharusnya diambil oleh pemerintah yang terpilih oleh rakyat, bukan oleh mereka yang memiliki kekuatan militer. Dengan memberikan ruang yang luas bagi TNI untuk ikut campur dalam kebijakan politik, kita bisa saja kehilangan kemampuan untuk mengontrol potensi penyalahgunaan kekuasaan yang datang dari tubuh militer. Kekuatan militer yang terlalu besar dapat merusak struktur sipil dan bahkan membahayakan kestabilan politik yang kita bangun dengan perjuangan selama ini.

     Selain itu, kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dalam sejarahnya, militer Indonesia sering kali terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius. Dari masa Orde Baru hingga periode pasca-reformasi, Banyak kasus pelanggaran HAM masih belum diselesaikan dengan tuntas. Dengan semakin besarnya peran TNI dalam kebijakan domestik, kita berisiko melihat pengulangan pelanggaran tersebut, yang bisa terjadi dalam bentuk tindakan represif terhadap oposisi politik atau penindasan terhadap kelompok masyarakat tertentu. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada militer untuk menangani masalah-masalah keamanan domestik seperti terorisme dan separatisme berpotensi memperburuk keadaan. Tidak jarang, pendekatan militer terhadap ancaman-ancaman ini dilakukan tanpa memperhatikan hak asasi manusia, yang akhirnya merugikan rakyat.

      Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada TNI juga berpotensi mengalihkan anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat. Dalam konteks anggaran negara yang terbatas, sangat mengkhawatirkan jika dana negara lebih banyak digelontorkan untuk memperkuat militer, sementara sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang lebih mendasar bagi kesejahteraan rakyat terabaikan. Indonesia saat ini masih menghadapi masalah besar dalam hal ketimpangan sosial, kemiskinan, serta kesenjangan dalam akses terhadap layanan publik yang berkualitas. Penguatan militer, yang menjadi fokus dalam UU TNI, hanya akan memperburuk ketimpangan ini, karena anggaran yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat, justru lebih banyak dialokasikan untuk memperbesar kekuatan militer.

       Kemudian, kita harus melihat dengan jernih bahwa ancaman yang dihadapi Indonesia saat ini sangat berbeda dengan ancaman yang dihadapi pada masa lalu. Ancaman terhadap kedaulatan negara tidak hanya datang dari perang konvensional, tetapi juga dari ancaman non-konvensional seperti terorisme internasional, serangan siber, dan perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan. Namun, UU TNI seakan-akan tidak menyadari perubahan besar dalam bentuk ancaman ini. Alih-alih mempersiapkan TNI untuk menghadapi ancaman yang lebih kompleks dan berbasis teknologi, UU ini justru memperkuat kekuatan militer dalam kerangka konvensional. Padahal, di era digital ini, ancaman terbesar datang dari dunia maya, yang tidak bisa dihadapi dengan kekuatan militer tradisional. Dengan tidak mempersiapkan TNI untuk menghadapi ancaman siber, kita justru menunjukkan bahwa kita ketinggalan zaman dan tidak peka terhadap tantangan global yang semakin berkembang.

      Lebih parah lagi, UU TNI mengandung banyak ketentuan yang berisiko mengurangi pengawasan terhadap TNI. Dalam sebuah negara demokratis, pengawasan terhadap kekuasaan militer sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Namun, UU TNI justru memberi TNI kewenangan yang besar tanpa adanya mekanisme pengawasan yang cukup ketat dari lembaga-lembaga sipil. Hal ini berisiko membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar lagi. Tidak ada jaminan bahwa TNI akan bertindak dengan akuntabilitas yang memadai. Bahkan, dengan semakin banyaknya kewenangan yang diberikan, kita bisa kehilangan kontrol terhadap militer, yang seharusnya menjadi alat negara untuk melindungi rakyat, bukan alat untuk mendominasi kehidupan politik.

       Indonesia sudah cukup dengan pengalaman kelam masa lalu di mana militer mengambil alih kehidupan politik dan menekan kebebasan sipil. Jika UU TNI disahkan, akan membuka jalan bagi kembalinya era militerisasi yang tidak hanya merugikan rakyat, tetapi juga mengancam stabilitas politik dan keamanan negara itu sendiri. Seharusnya, yang kita perlukan adalah regulasi yang memperkuat peran militer dalam menghadapi ancaman-ancaman keamanan yang berkembang, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi, hak asasi manusia, dan kesejahteraan rakyat. UU TNI, dengan segala kelemahan dan potensi bahayanya, bukanlah jawaban yang tepat.

      Kita harus menentang UU ini masa depan yang lebih adil, lebih demokratis, dan lebih baik Jika UU ini tetap di pertahankan oleh pemerintah, kita akan kehilangan lebih banyak lagi dari apa yang telah kita perjuangkan selama dua dekade terakhir: sebuah Indonesia yang bebas dari dominasi militer, yang mempertahankan hak asasi manusia, dan yang berfokus pada kesejahteraan rakyat. Pengesahan UU TNI bukan hanya kemunduran bagi Indonesia, tetapi juga langkah yang salah dalam sejarah panjang bangsa ini.

Penulis:Muhammad Dirgantara

Ketua SEMA FAKSHI IAIN PAREPARE

Program Studi:Hukum Ekonomi Syariah

28/03/2025